7 Feb 2011

Robert Raikes Pencetus Sekolah Minggu

Atas permintaan seorang editor Surat kabar yang baik, Robert Raikes, Ny. Meredith menerima segerombolan anak jalanan ke dapur rumahnya di Sooty Alley. Raikes bahkan membayar Ny. Meredith satu shilling setiap hari Minggu untuk mengajar anak-anak berpakaian compang-camping ini membaca Alkitab dan mengulanginya di luar kepala. Tetapi anak-anak ini luar biasa bandel. Terkungkung di sebuah pabrik yang basah dan gelap di Gloucester, Inggris, selama enam hari dalam satu minggu, mereka hanya dapat kesempatan bergembira ria pada hari Minggu, dan pada hari-hari Minggu itulah mereka menjadi liar. Setiap Minggu para petani dan pemilik toko merasa takut pada kenakalan anak-anak ini. Robert Raikes berharap bahwa "Sekolah Minggu" ini akan mengubah hidup mereka, namun mereka membawa kebiasaan mereka yang menjijikkan dan mengerikan itu ke dapur Ny. Meredith.

Raikes tidak membiarkan niatnya pupus. Ia memindahkan sekolah Minggunya ke dapur Ny. King tempat May Critchley mengajar mereka dari pukul sepuluh sampai pukul dua belas siang dan dari pukul satu sampai dengan pukul lima pada petang hari. Ia menghendaki anak-anak hadir setelah tangan dicuci dan rambut disisir. Dalam waktu yang singkat anak-anak itu mau belajar. Tidak lama kemudian terkumpul Sembilan puluh anak menghadiri sekolah Minggu pada setiap hari Minggu. Perlahan-lahan mereka belajar membaca.

Hal ini bukanlah upaya pertama Raikes bagi pembaruan masyarakat. Sebagai seorang editor Gloucester -Journal yang berpikiran liberal, ia sangat sadar akan roda kemiskinan dan kriminalitas. Orang-orang yang tidak dapat membayar utang dipenjarakan, dan bila mereka keluar, tidak ada kehidupan bagi mereka. Maka mereka terdorong berbuat kejahatan. Selama bertahun-tahun Raikes berupaya bekerja bersama mantan napi, untuk membantu mereka agar tidak berbuat kejahatan, namun sia-sia.

"Dunia bergerak maju di atas kaki anak-anak kecil." Kalimat yang berasal dari Raikes itu mengungkapkan pemikiran sekolah Minggu ini. Para orang dewasa telah berjalan terlalu jauh, tetapi anak-anak baru memulainya.

Masalah yang dihadapinya ialah ketidaktahuan. Anak-anak (dari keluarga) kurang mampu tidak pernah mendapat kesempatan pergi ke sekolah — mereka harus bekerja untuk membantu keluarga mereka. Akibatnya, mereka tidak dapat beranjak dari kemiskinan. Namun, jika mereka dapat belajar pelajaran dasarnya — membaca, menulis, berhitung dan moralitas alkitabiah — pada hari libur satu harinya, suatu saat mereka mungkin mengubah semuanya itu.

Jadi, eksperimen itu berawal dari Sooty Alley. Lambat-laun ide ini bertumbuh. Pada tahun 1783, dengan kepercayaan diri bahwa eksperimennya telah berhasil, Raikes mulai mengumumkannya dalam hariannya. Dengan hati-hati ia melaporkan alasan dan hasilnya. ide tersebut menjadi populer.

Orang-orang Kristen yang terpandang mendukung ide tersebut. John Wesley menyukainya, dan kelompok Wesley pun mulai melakukannya. Penulis populer, Hannah More, mengajar agama dan memintal pada gadis-gadis di Cheddar. Seorang pedagang dari London, William Fox, pernah menyumbangkan ide serupa, namun memutuskan menunjang proyek Raikes. Pada tahun 1785, Fox mendirikan perkumpulan untuk menunjang dan mendukung banyak sekolah Minggu di berbagai kawasan di Inggris.

Ratu Charlotte pun membenarkan sekolah Minggu tersebut. Ia memanggil Raikes untuk mendengarkan hal itu dan kemudian ia mengizinkan namanya dipakai untuk upaya pengumpulan dana yang dilaksanakan Fox.

Kemasyhuran membawa pertentangan juga dari para konservatif yang takut akan terganggunya hari Sabat oleh para pedagang, yang khawatir akan kehilangan bisnis pada hari Minggu. Ada beberapa teman Raikes yang mengejeknya "Bobby Wild Goose (pengajar sesuatu yang tidak mungkin tercapai) dan Resimen Gembelnya".

Namun, hingga tahun 1787, ada seperempat juta anak-anak menghadiri sekolah Minggu di Inggris. Lima puluh tahun kemudian, ada 1,5 juta anak di seluruh dunia yang dididik oleh 160.000 tenaga pengajar. Yang menggembirakan ialah perkembangan Manchester pada tahun 1835. Sekolah Minggu tersebut terdiri dari 120 tenaga pengajar, yang 117 di antara mereka adalah mantan murid-murid sekolah-sekolah Minggu itu sendiri.

Dua perubahan besar telah terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Pada awalnya, guru-guru di sana dibayar, tetapi lambat-laun hal itu telah menjadi aktivitas sukarela. Pada awalnya, kurikulum terdiri dari membaca, menulis dan berhitung — dengan Alkitab dipakai sebagai teks yang tersedia. Ketika sekolah Minggu mendapat dana yang lumayan, mereka dapat mengadakan buku-buku teks lain. Tetapi, ketika pendidikan umum berkembang, sekolah-sekolah Minggu memusatkan perhatiannya pada pelajaran Alkitab saja.

Gerakan sekolah Minggu merupakan fenomena besar di Inggris dan Amerika, dengan implikasi religius maupun sekular. Hal ini terjadi di tengah-tengah kebangkitan rohani yang membalikkan Gereja dari kelesuan dan mungkin juga dapat menyelamatkan Inggris dari bencana revolusi yang dahsyat. Perlahan-lahan, orang-orang Kristen yang kaya mulai sadar akan tanggung jawab mereka terhadap kaum miskin. Gerakan sekolah Minggu telah menanamkan benih pendidikan umum dan merevolusi pendidikan agama, khususnya ketika menghidupkan pencetakan materi-materi agama. Pada akhir tahun 1800-an, gerakan sekolah Minggu memberikan Gereja puluhan kidung baru.

Hasil paling besar adalah anak-anak muda yang tak terhitung jumlahnya, yang telah tergerak oleh interaksi sederhana dan pendidikan sekolah Minggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar