4 Feb 2011

Menantikan Sukacita

Sebagian besar hidup kita berpusat pada masa-masa penantian. Kita akan sangat merasa kehilangan jika pada suatu pagi kita bangun dan tiba-tiba mendengar pengumuman tak terduga: "10 menit lagi Natal!" Sukacita dalam banyak peristiwa hidup dialami karena kita memiliki waktu untuk menantikannya.
Hari Natal, acara liburan, perjalanan misi, pertandingan olahraga. Semuanya menjadi semakin bernilai disebabkan oleh jam-jam yang kita habiskan untuk menanti datangnya saat-saat itu—semua kesenangan, tantangan, dan kegembiraan yang akan datang dari pengalaman itu silih berganti memenuhi benak kita.

Saya terpikir akan nilai dari sebuah penantian dan perasaan menggebu-gebu yang menyertainya di dalam hati manusia saat saya membaca Mazmur 30:6, "Sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar soraksorai." Sang pemazmur sedang menyatakan suatu pemikiran yang memberikan penghiburan, yaitu bahwa kesusahan duniawi hanya terasa sesaat saja jika dibandingkan dengan sukacita yang kita nantikan akan terjadi di surga hingga selamaselamanya. Rasul Paulus menuliskan pemikiran yang serupa dalam 2 Korintus 4:17. Dalam ayat tersebut, kita menemukan bahwa "penderitaan ringan" akan menuntun kita pada kemuliaan kekal.

Untuk saat ini, sebagian dari kita yang berdukacita dapat terus memiliki pengharapan daripada tenggelam dalam keputusasaan dan memiliki sikap hati yang menantikan daripada terus berduka. Mungkin saja hati kita mengalami kelamnya malam hari, tetapi di hadapan kita terbentang fajar kekekalan. Dan seiring fajar itu, Allah menjanjikan sukacita yang tak akan pernah berakhir dari pagi surgawi.

Kesengsaraan, dukacita, dan penderitaan
Tidak lain adalah batu loncatan surga
Menuju hari esok yang cerah dan penuh sukacita
Tempat di mana tidak ada lagi kesedihan. —Glass

Kita mampu menghadapi pencobaan dalam hidup ini karena adanya janji sukacita di kehidupan mendatang.


Sumber : rbcintl.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar